Rabu, 01 September 2010
Sabtu, 28 Agustus 2010
Persepsi KBM di TK
Definsi serta penerapan anak Taman Kanak-kanak diberikan pekerjaan rumah (PR) masih sering terjadi perbincangan serius. Bahkan perdebatan antara wali murid dengan orangtua siswa. Alasannya sangat klise, anak TK tidak boleh ‘dibebani’ dengan PR. Arugumennya, karena belajar di TK masih sebatas bermain dan bukan belajar formal. Saya sangat setuju ^_^
Kita sudah tahu, pandangan selama ini Taman Kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di Taman Kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat Taman Kanak-kanak. Kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Bahkan ada pandangan lebih ekstrim lagi, anak TK belum saatnya diajari membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Karena akan membebani otaknya. Akibatnya, anak menjadi ‘alergi’ dengan pelajaran setelah duduk di bangku SD. Sebenarnya, biang persoalannya adalah perbedaan dalam mendefinisikan ‘arti belajar’. Belajar kerap diistilahkan mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi.
Memberikan PR kepada anak TK dengan alasan sebagai upaya menciptakan kesadaran sah-sah saja. Tidak hanya itu, anak juga merasa memiliki tanggung jawab, bahkan punya eksistensi kalau dirinya sudah sekolah TK. Contoh, di sekolah keponakan saya (salah satu sekolah favorit di Pinang) setiap minggu diterapkan PR satu mata pelajaran.
Dia sama sekali tidak terbebani. Justru ketika diajak jalan-jalan masih sempat bilang “Tunggu dulu mau mengerjakan PR sebentar.” Bukan beban yang dirasakan, justru tertanam rasa tanggung jawab. Bahkan rasa bangga karena sudah sekolah. Jangan-jangan justru orangtua yang merasa terbebani?
Hanya yang menjadi persoalan adalah metodenya. Jika PR diberikan setiap hari, apalagi dengan target-target tertentu, pasti akan menjadi beban bagi anak. PR cukup sebagai tugas, bukan sebagai beban. Apalagi sampai diberi punishment (hukuman), jika tidak mengerjakan PR maka harus berdiri di depan kelas, misalnya.
Sebenarnya, yang menjadikan rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum adalah Teori psikologi perkembangan Jean Peaget. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun.
Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur. Sehingga dipandang tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Jangankan ingin mencerdaskan anak, akhirnya malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka masuk SD.
Namun, model belajar konvensional di TK malah menjadi persoalan sendiri bagi orangtua saat ini. Karena untuk masuk sekolah di SD favorit harus melalui tes seleksi. Standarisasi tesnya pun sudah harus bisa membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, tes kemampuan bahasa inggris. Bayangkan, bagi anak yang ketika di TK belum dipelajari calistung, pasti tidak bisa mengerjakan tes.
Di sekolah saya dulu mengajar misalnya, ada beberapa orangtua yang anaknya tidak lulus tes masuk mempertanyakan alasannya. Setelah kami jelaskan, mereka balik mempertanyakan, “Kenapa standarisasinya tinggi, bukankah wajar kalau anak baru lulus TK belum bisa membaca, menulis, dan berhitung?”.
Persoalan ini menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Awalnya memang pelajaran baca tulis mulai diajarkan pada tingkat pendidikan SD. pada perkembangan terakhir, hal itu menimbulkan sedikit masalah. Ini sangat realitistis, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Rata-rata materi pelajaran kelas satu sudah diajarkan soal cerita, mengarang. Juga membuat analisa sederhana dari sebuah peristiwa. Apalagi seperti di sekolah kami yang mematok target prestasi menuju sekolah Islam bertaraf internasional.
Bisa dibayangkan, bagaimana bisa mencapai target tersebut jika seleksi awal tidak memenuihi standar. Sekali pun kurikuklum dan metode belajarnya bagus, guru-gurunya berkualitas, dan infastrukturnya lengkap namun inputnya lemah, maka akan kesulitan menghasilkan output sesuai dengan standar.
Akhirnya kami bisa memahami jika muncul kekhawatiran para orang tua. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak naik kelas”, “tidak lulus”, kini semakin menakutkan. Sebab akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Mau tak mau sekolah-sekolah TK harus berani melakukan inovasi metode belajar. Hingga akhirnya, metode belajar pakem yang konotasinya anak TK hanya belajar bernyanyi dan bermain lambat laun dinilai tidak efektif lagi.
Beberapa anak mungkin berhasil menguasainya, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu, wajar jika sekolah TK jika ingin maju harus terus berani dan cerdas melakukan pengembangan. Termasuk menerapkan PR selagi tidak dijadikan beban kepada anak. Dan ini menurut hemat saya menjadi jalan terakhir manakala sudah tak ada jalan lain yang kreatif, menyenangkan dan full pelajaran. Saya suka dengan istilah Bermain dan Belajar. Maka dari itu selaku guru komputer, saya sangat mereferensikan game Play n Learn dalam pembelajaran anak-anak.
Bagaimana jika anak yang usianya sudah memasuki wajib belajar namun belum bisa membaca?.
Jangan khawatir. Beberapa literatur menunjukan, bahwa tidak ada jaminan anak yang lebih dahulu bisa membaca akan lebih sukses di masa depan daripada mereka yang terlambat. Banyak tokoh sukses yang justru terlambat membaca. Tentu saja mereka tidak bisa menjadi patokan mutlak.
Di buku Right Brained Children in a Left Brained World disebutkan, tokoh-tokoh seperti Albert Einstein, George S. Patton, William Butler Yeats adalah mereka yang terlambat membaca. Anak-anak di Rusia misalnya, baru membaca di usia 7 tahun, tapi mereka cerdas-cerdas.
Melihat realitas seperti itu, tentu harus disikapi dengan bijak. Setiap pertemuan dengan guru dan Kepala TK pihak Dinas Pendidikan selalu mengingatkan agar tidak mengajarkan calistung. Tetapi tidak pernah melarang sekolah SD untuk melakukan tes kepada calon muridnya. Saya sekali lagi, sebagai guru TIK tingkat anak yang pernah mengajar 3 institusi pendidikan, hanya bisa membantu orang tua dengan memberikan game via komputer di rumah (Soft copy GRATIS). InsyaAllah, sedikit banyak bisa membantu. :)
Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi sebagai bahan kajian bagi banyak pihak utamanya Dinas Pendidikan dan pihak-pihak yang kompeten (Yayasan selaku Owner dan Kepala Sekolah selaku pimipinan strategis).
Salam,
ASRO (Guru Komputer TK Islam Al Birru)
Kita sudah tahu, pandangan selama ini Taman Kanak-kanak didefinisikan sebagai tempat untuk mempersiapkan anak-anak memasuki masa sekolah dasar. Kegiatan yang dilakukan di Taman Kanak-kanak pun hanyalah bermain dengan mempergunakan alat-alat bermain edukatif. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung tidak diperkenankan di tingkat Taman Kanak-kanak. Kecuali hanya pengenalan huruf-huruf dan angka-angka, itu pun dilakukan setelah anak-anak memasuki TK B.
Bahkan ada pandangan lebih ekstrim lagi, anak TK belum saatnya diajari membaca, menulis dan berhitung (Calistung). Karena akan membebani otaknya. Akibatnya, anak menjadi ‘alergi’ dengan pelajaran setelah duduk di bangku SD. Sebenarnya, biang persoalannya adalah perbedaan dalam mendefinisikan ‘arti belajar’. Belajar kerap diistilahkan mewakili kegiatan yang begitu serius, menguras pikiran dan konsentrasi.
Memberikan PR kepada anak TK dengan alasan sebagai upaya menciptakan kesadaran sah-sah saja. Tidak hanya itu, anak juga merasa memiliki tanggung jawab, bahkan punya eksistensi kalau dirinya sudah sekolah TK. Contoh, di sekolah keponakan saya (salah satu sekolah favorit di Pinang) setiap minggu diterapkan PR satu mata pelajaran.
Dia sama sekali tidak terbebani. Justru ketika diajak jalan-jalan masih sempat bilang “Tunggu dulu mau mengerjakan PR sebentar.” Bukan beban yang dirasakan, justru tertanam rasa tanggung jawab. Bahkan rasa bangga karena sudah sekolah. Jangan-jangan justru orangtua yang merasa terbebani?
Hanya yang menjadi persoalan adalah metodenya. Jika PR diberikan setiap hari, apalagi dengan target-target tertentu, pasti akan menjadi beban bagi anak. PR cukup sebagai tugas, bukan sebagai beban. Apalagi sampai diberi punishment (hukuman), jika tidak mengerjakan PR maka harus berdiri di depan kelas, misalnya.
Sebenarnya, yang menjadikan rujukan utama kurikulum TK dan bahkan pendidikan secara umum adalah Teori psikologi perkembangan Jean Peaget. Pelajaran membaca, menulis, dan berhitung secara tidak langsung dilarang untuk diperkenalkan pada anak-anak di bawah usia 7 tahun.
Piaget beranggapan bahwa pada usia di bawah 7 tahun anak belum mencapai fase operasional konkret. Fase itu adalah fase, di mana anak-anak dianggap sudah bisa berpikir terstruktur. Sementara itu, kegiatan belajar calistung sendiri didefinisikan sebagai kegiatan yang memerlukan cara berpikir terstruktur. Sehingga dipandang tidak cocok diajarkan kepada anak-anak TK.
Piaget khawatir otak anak-anak akan terbebani jika pelajaran calistung diajarkan pada anak-anak di bawah 7 tahun. Jangankan ingin mencerdaskan anak, akhirnya malah memiliki persepsi yang buruk tentang belajar dan menjadi benci dengan kegiatan belajar setelah mereka masuk SD.
Namun, model belajar konvensional di TK malah menjadi persoalan sendiri bagi orangtua saat ini. Karena untuk masuk sekolah di SD favorit harus melalui tes seleksi. Standarisasi tesnya pun sudah harus bisa membaca, menulis, dan berhitung. Bahkan, tes kemampuan bahasa inggris. Bayangkan, bagi anak yang ketika di TK belum dipelajari calistung, pasti tidak bisa mengerjakan tes.
Di sekolah saya dulu mengajar misalnya, ada beberapa orangtua yang anaknya tidak lulus tes masuk mempertanyakan alasannya. Setelah kami jelaskan, mereka balik mempertanyakan, “Kenapa standarisasinya tinggi, bukankah wajar kalau anak baru lulus TK belum bisa membaca, menulis, dan berhitung?”.
Persoalan ini menjadi fenomena tersendiri di Indonesia. Awalnya memang pelajaran baca tulis mulai diajarkan pada tingkat pendidikan SD. pada perkembangan terakhir, hal itu menimbulkan sedikit masalah. Ini sangat realitistis, karena ternyata pelajaran di kelas satu sekolah dasar sulit diikuti jika asumsinya anak-anak lulusan TK belum mendapat pelajaran calistung.
Rata-rata materi pelajaran kelas satu sudah diajarkan soal cerita, mengarang. Juga membuat analisa sederhana dari sebuah peristiwa. Apalagi seperti di sekolah kami yang mematok target prestasi menuju sekolah Islam bertaraf internasional.
Bisa dibayangkan, bagaimana bisa mencapai target tersebut jika seleksi awal tidak memenuihi standar. Sekali pun kurikuklum dan metode belajarnya bagus, guru-gurunya berkualitas, dan infastrukturnya lengkap namun inputnya lemah, maka akan kesulitan menghasilkan output sesuai dengan standar.
Akhirnya kami bisa memahami jika muncul kekhawatiran para orang tua. Terlebih lagi, istilah-istilah “tidak naik kelas”, “tidak lulus”, kini semakin menakutkan. Sebab akan berpengaruh pada kondisi psikologis anak kalau akhirnya harus mengulang kelas.
Karena tuntutan itulah, akhirnya banyak TK yang secara mandiri mengupayakan pelajaran membaca bagi murid-muridnya. Berbagai metode mengajar dipraktikkan, dengan harapan bisa membantu anak-anak untuk menguasai keterampilan membaca dan menulis sebelum masuk sekolah dasar. Mau tak mau sekolah-sekolah TK harus berani melakukan inovasi metode belajar. Hingga akhirnya, metode belajar pakem yang konotasinya anak TK hanya belajar bernyanyi dan bermain lambat laun dinilai tidak efektif lagi.
Beberapa anak mungkin berhasil menguasainya, namun banyak pula di antaranya yang masih mengalami kesulitan. Oleh karena itu, wajar jika sekolah TK jika ingin maju harus terus berani dan cerdas melakukan pengembangan. Termasuk menerapkan PR selagi tidak dijadikan beban kepada anak. Dan ini menurut hemat saya menjadi jalan terakhir manakala sudah tak ada jalan lain yang kreatif, menyenangkan dan full pelajaran. Saya suka dengan istilah Bermain dan Belajar. Maka dari itu selaku guru komputer, saya sangat mereferensikan game Play n Learn dalam pembelajaran anak-anak.
Bagaimana jika anak yang usianya sudah memasuki wajib belajar namun belum bisa membaca?.
Jangan khawatir. Beberapa literatur menunjukan, bahwa tidak ada jaminan anak yang lebih dahulu bisa membaca akan lebih sukses di masa depan daripada mereka yang terlambat. Banyak tokoh sukses yang justru terlambat membaca. Tentu saja mereka tidak bisa menjadi patokan mutlak.
Di buku Right Brained Children in a Left Brained World disebutkan, tokoh-tokoh seperti Albert Einstein, George S. Patton, William Butler Yeats adalah mereka yang terlambat membaca. Anak-anak di Rusia misalnya, baru membaca di usia 7 tahun, tapi mereka cerdas-cerdas.
Melihat realitas seperti itu, tentu harus disikapi dengan bijak. Setiap pertemuan dengan guru dan Kepala TK pihak Dinas Pendidikan selalu mengingatkan agar tidak mengajarkan calistung. Tetapi tidak pernah melarang sekolah SD untuk melakukan tes kepada calon muridnya. Saya sekali lagi, sebagai guru TIK tingkat anak yang pernah mengajar 3 institusi pendidikan, hanya bisa membantu orang tua dengan memberikan game via komputer di rumah (Soft copy GRATIS). InsyaAllah, sedikit banyak bisa membantu. :)
Semoga tulisan ini bisa menjadi referensi sebagai bahan kajian bagi banyak pihak utamanya Dinas Pendidikan dan pihak-pihak yang kompeten (Yayasan selaku Owner dan Kepala Sekolah selaku pimipinan strategis).
Salam,
ASRO (Guru Komputer TK Islam Al Birru)
Rabu, 25 Agustus 2010
Belajar Sambil Bermain
Anak belajar melalui permainan mereka. Anak-anak yang masih kecil sebetulnya sudah melakukan proses belajar dengan cara mereka sendiri, terlepas dari sekolah atau homeschool. Menurut pendapat saya, sebuah rumah sudah merupakan tempat yang cukup besar untuk balita bereksplorasi. Apakah anda pernah mendengar balita yang tidak berkeliling dan mencoba memegang/meneliti semua barang yang dilihatnya ?
Main ! Main ! Main ! Bermain merupakan hal utama bagi anak kecil. Anak belajar melalui permainan mereka. Mereka belajar tentang badan mereka, lingkungan mereka, orang-orang sekitar mereka.
Pentingnya Bermain
Sejak lahir anak mempunyai rasa ingin tahu. Mereka ingin tahu bagaimana dunia mereka. Bayi belajar dengan cara berinteraksi dengan orang di sekitar mereka, dengan menggunakan indera mereka.
Perhatikan bayi anda dan lihatlah proses belajar yang mereka lakukan.
Saya senang sekali memperhatikan bayi ketika mereka baru berusia beberapa hari. Bagaimana mereka berusaha memasukkan ibu jarinya ke mulut untuk disedot. Bagaimana mereka berusaha mengeluarkan tangannya dari bedong mereka.
Anak belajar melalui permainan mereka. Orang dewasa sebaiknya ikut dalam permainan tersebut. Mainan tidak terlalu penting karena orangtualah mainan utama bagi anak-anak.
Apakah anda pernah mendengar anak yang berkata "Saya tidak mau mainan, saya mau bermain dengan Ibu/Bapak !" Jangan khawatir bila anda tidak dapat membeli mainan yang bagus dan mahal. Andalah yang anak anda perlukan saat ini.
Saat anda bermain dengan anak anda, tidak ada aturan yang harus diikuti (kecuali aturan keamanan). Bertindaklah spontan. Ikuti apa yang dimainkan anak anda. Nikmati permainannya. Biarkan mereka memimpin. Bantu bila mereka memerlukan. Tantang bila mereka sudah siap. Mereka sedang belajar, melalui permainan mereka. Kita orang dewasa hanya tidak menyadarinya.
Bagi kita orang dewasa, bermain mungkin tidak terlihat seperti belajar. Bermain balok terlihat seperti hanya menyusun dan menghancurkannya kembali. Bermain air hanya membuat berantakan, menuang air dan menumpahkannya kembali. Main cilukba sangat membosankan untuk orang dewasa.
Tapi bagi anak, bermain balok adalah latihan motorik halus. Mereka melatih jari-jari mereka untuk memegang balok tersebut, mengangkatnya dan membuatnya seimbang berdiri di atas balok yang lain. Hal ini merupakan hal yang tidak mudah bagi anak.
Semua anak senang bermain air. Mereka belajar bahwa tidak semua benda itu padat, ada benda cair. Ada konsep kosong dan penuh ketika mereka menuang dan menumpahkan.
Cilukba juga sangat mengasyikkan. Sekarang ada, sekarang tidak ada. Bayi dan anak kecil senang sekali dengan permainan sederhana ini. Mereka belajar bahwa walaupun suatu benda tidak terlihat, tidak berarti benda tersebut tidak ada, hanya sembunyi. Ibu mungkin sembunyi dibalik tangan itu, tapi ibu masih ada disini (bayi bahkan mungkin tidak tahu bahwa itu tangan ibu, tapi itu merupakan proses belajar lain lagi).
Jadi bermainlah, main dan main. Bermainlah bersama anak anda sampai mereka tidak mau bermain lagi. Anda dapat menyelipkan lebih banyak unsur belajar pada permainan mereka. Kenalkan anak anda dengan buku sedini mungkin. Tidak pernah terlalu cepat untuk mulai membaca. Anda bahkan dapat mulai matematika ! Berhitung, nama bentuk, menumpuk, membagi. Semua itu matematika.
Main ! Main ! Main ! Bermain merupakan hal utama bagi anak kecil. Anak belajar melalui permainan mereka. Mereka belajar tentang badan mereka, lingkungan mereka, orang-orang sekitar mereka.
Pentingnya Bermain

Perhatikan bayi anda dan lihatlah proses belajar yang mereka lakukan.
Saya senang sekali memperhatikan bayi ketika mereka baru berusia beberapa hari. Bagaimana mereka berusaha memasukkan ibu jarinya ke mulut untuk disedot. Bagaimana mereka berusaha mengeluarkan tangannya dari bedong mereka.
Anak belajar melalui permainan mereka. Orang dewasa sebaiknya ikut dalam permainan tersebut. Mainan tidak terlalu penting karena orangtualah mainan utama bagi anak-anak.
Apakah anda pernah mendengar anak yang berkata "Saya tidak mau mainan, saya mau bermain dengan Ibu/Bapak !" Jangan khawatir bila anda tidak dapat membeli mainan yang bagus dan mahal. Andalah yang anak anda perlukan saat ini.
Saat anda bermain dengan anak anda, tidak ada aturan yang harus diikuti (kecuali aturan keamanan). Bertindaklah spontan. Ikuti apa yang dimainkan anak anda. Nikmati permainannya. Biarkan mereka memimpin. Bantu bila mereka memerlukan. Tantang bila mereka sudah siap. Mereka sedang belajar, melalui permainan mereka. Kita orang dewasa hanya tidak menyadarinya.
Bagi kita orang dewasa, bermain mungkin tidak terlihat seperti belajar. Bermain balok terlihat seperti hanya menyusun dan menghancurkannya kembali. Bermain air hanya membuat berantakan, menuang air dan menumpahkannya kembali. Main cilukba sangat membosankan untuk orang dewasa.
Tapi bagi anak, bermain balok adalah latihan motorik halus. Mereka melatih jari-jari mereka untuk memegang balok tersebut, mengangkatnya dan membuatnya seimbang berdiri di atas balok yang lain. Hal ini merupakan hal yang tidak mudah bagi anak.
Semua anak senang bermain air. Mereka belajar bahwa tidak semua benda itu padat, ada benda cair. Ada konsep kosong dan penuh ketika mereka menuang dan menumpahkan.
Cilukba juga sangat mengasyikkan. Sekarang ada, sekarang tidak ada. Bayi dan anak kecil senang sekali dengan permainan sederhana ini. Mereka belajar bahwa walaupun suatu benda tidak terlihat, tidak berarti benda tersebut tidak ada, hanya sembunyi. Ibu mungkin sembunyi dibalik tangan itu, tapi ibu masih ada disini (bayi bahkan mungkin tidak tahu bahwa itu tangan ibu, tapi itu merupakan proses belajar lain lagi).
Jadi bermainlah, main dan main. Bermainlah bersama anak anda sampai mereka tidak mau bermain lagi. Anda dapat menyelipkan lebih banyak unsur belajar pada permainan mereka. Kenalkan anak anda dengan buku sedini mungkin. Tidak pernah terlalu cepat untuk mulai membaca. Anda bahkan dapat mulai matematika ! Berhitung, nama bentuk, menumpuk, membagi. Semua itu matematika.
Selamat Datang di TK Al Birru Cinere
Assalamu'alaikum...
Bapak/Ibu yang terhormat,
Terima kasih telah sudi mampir ke Blog kami, TK Al Birru Cinere yang sederhana ini. Semoga semua informasi dan hal-hal lain yang Bapak/Ibu cari di tempat ini bisa sedikit banyak bisa membantu.
Bapak/Ibu yang terhormat,
Terima kasih telah sudi mampir ke Blog kami, TK Al Birru Cinere yang sederhana ini. Semoga semua informasi dan hal-hal lain yang Bapak/Ibu cari di tempat ini bisa sedikit banyak bisa membantu.
Langganan:
Postingan (Atom)